Wednesday, May 19, 2010

Berjabat Tangan: Tradisi atau Anjuran Agama?

Posted: 08 May 2010 05:59 AM PDT

23 Jamadil Awal 1431H.
Oleh : Dr. H. Rusli Hasbi, MA

Mari kita simak sebuah hadis berikut.

عَنْ أبى الخطاب قَتَادَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ هَلْ كَانَتْ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ

Artinya: Dari Abi Khattâb Qatâdah ia berkata: Saya bertanya kepada Anas bin Malik, “Apakah para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasa berjabat tangan?” Ia menjawab, “Ya.” (HR Bukhari)

Anas adalah seorang sahabat yang pernah tinggal bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selama 10 tahun. Anas banyak mengetahui kebiasan para sahabat, termasuk kebiasaan mereka berjabat tangan atau mushafahah. Musafahah dalam bahasa Arab artinya memegang dengan tangan yang terbuka penuh. Adanya kebiasaan ini menunjukkan bahwa berjabat tangan merupakan tradisi yang telah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah. Tradisi ini kemudian menjadi anjuran agama berdasarkan hadis-hadis Rasulullah.

Asal Usul Tradisi Jabat Tangan

Sebenarnya budaya jabat tangan bukanlah budaya masyarakat Mekkah ataupun Madinah, tetapi merupakan adopsi dari budaya Yaman. Argumen ini didasari sebuah Hadits dari Anas r.a. yang menyatakan bahwa sekelompok orang negeri Yaman mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mereka saling berjabat tangan dengan kaum muslimin. Rasulullah bersabda, “Kini telah datang penduduk kota Yaman dan merekalah orang-orang yang pertama kali datang dengan berjabat tangan”. Dengan demikian, kebiasaan berjabat tangan bukan budaya asli penduduk Mekkah ataupun Madinah, tetapi sudah ada pada masa Rasulullah dan diakui oleh beliau. Sesuatu yang diakui beliau merupakan Sunnah atau anjuran agama.

Hikmah Berjabat Tangan

Allah sangat menghargai setiap perbuatan baik yang dilakukan dengan ikhlas. Berjabat tangan merupakan perbuatan baik yang akan diganjar pengampunan dari-Nya, sebagaimana disebutkan dalam Hadis berikut:

Dari al-Barra’ r.a. ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “[Apabila ada] dua orang Islam yang bertemu kemudian mereka berjabat tangan, maka dosa kedua orang tersebut akan diampuni sebelum keduanya berpisah (melepaskan tangan mereka)”. (HR Abu Daud)

Pengampunan dosa itulah yang seharusnya diharapkan seorang muslim ketika ia mengulurkan tangannya kepada saudaranya seagama. Rasulullah sendiri ketika bersalaman tidak pernah melepaskan tangan sahabatnya terlebih dahulu sampai sahabat itu sendiri yang melepaskannya.

Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis, Bolehkah?

Saya tidak setuju kalau jabat tangan dilakukan dengan lawan jenis yang bukan muhrim, karena beberapa faktor:

1.Tidak pernah ada Hadis yang meriwayatkan adanya kebiasaan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan pada masa Rasulullah. Hadis di atas hanya menjelaskan jabat tangan secara umum;
2.Rasulullah sendiri tidak pernah melakukan hal tersebut;
3.Sebagai tindakan preventif terhadap efek negatif yang mungkin ditimbulkan dari jabat tangan, seperti timbulnya nafsu birahi karena bersentuhan kulit secara langsung dengan lawan jenis, mengetahui kekurangan ataupun kelebihan kondisi kulit tangan yang dimiliki lawan jenis, serta hal-hal lain yang sedikit demi sedikit dapat menjadi racun bagi masa depan seorang muslim/muslimah; dan
4.Berjabat tangan bukan hanya simbol dari pengampunan dosa, tetapi lebih dari itu merupakan sebuah perkenalan dan persahabatan. Ketika jabat tangan dilakukan dengan sesama jenis (laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan), maknanya mereka telah menandatangani kontrak persahabatan sebagai teman sehidup semati dalam hal kesamaan agama dan akidah yang akan dipertahankan sampai mati. Kontrak semacam ini tidak wajar bila dilakukan dengan lawan jenis yang bukan muhrim atau suami istri.
Bagaimana Tata Cara Berjabat Tangan yang Diakui Nabi?

Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa ia berkata bahwa Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apabila seorang di antara kami bertemu dengan saudara ataupun kawannya apakah ia harus membungkukkan diri?” Beliau menjawab, “Tidak.” Orang tersebut bertanya lagi, “Apakah ia harus mendekap dan menciumnya?” Beliau menjawab, “Tidak”. Ia bertanya lagi, “Apakah ia harus memegang tangannya dan menjabatnya?” Nabi menjawab, “Ya.” (HR Turmuzi)

Menurut Hadis di atas, ada tiga hal yang biasa dilakukan masyarakat Arab ketika bertemu dengan sesamanya, yaitu:

1.membungkukkan badan;
2.mendekap dan mencium dengan mengecupkan mulut; dan
3.berjabat tangan.
Dari ketiga hal di atas, hanya satu yang diakui Rasulullah yaitu berjabat tangan. Namun fenomena yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Masyarakat kita masih melakukan ketiga hal di atas. Tidak jarang kita membungkukkan badan pertanda hormat kepada sesama, ataupun berpelukan tanpa berjabat tangan. Yang paling tidak wajar adalah melakukan ketiga hal tersebut sekaligus.

Kita harus akui bahwa sesuatu yang selama ini kita anggap sepele ternyata mendapat perhatian serius dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Saatnya bagi kita untuk merenungkan kembali apakah yang kita lakukan selama ini sudah sesuai dengan anjuran Rasulullah atau tidak.

Bolehkah Bersalaman dengan Mencium Tangan?

Jawabannya terdapat dalam Hadis berikut:

Dari Shafwan bin ‘Assal r,a., ia menceritakan bahwa ada seorang Yahudi berkata kepada kawannya, “Marilah kita pergi menemui Muhammad”. Maka keduanya pun datang menemui Nabi dan menanyakan tentang sembilan ayat. Setelah Nabi menjawab semua pertanyaan tersebut, mereka lalu mencium tangan dan kaki Nabi seraya berkata, “Kami bersaksi bahwa sesungguhnya engkau adalah seorang Nabi.” (HR Turmudzi)

Tindakan kedua Yahudi tersebut didasari oleh keyakinan mereka (setelah mendengarkan penjelasan dari Nabi), bahwa beliau adalah orang yang benar dan pantas untuk dihormati. Jawaban yang beliau berikan mampu memuaskan dan membuka mata hati mereka yang selama ini tertutup.

Dari Hadis di atas dapat kita kembangkan beberapa hal, di antaranya:

•Orang yang belum masuk Islam belum tentu musuh kita. Bisa saja mereka tidak memeluk Islam karena mereka belum mendapatkan informasi yang benar tentang agama kita.
•Tunjukkan akhlak mulia kepada mereka sehingga mereka bisa melihat lebih jauh sisi baik Islam dari penganut Islam itu sendiri. Dengan demikian, mereka bisa tertarik untuk mempelajari Islam.
•Yang berhak dicium tangannya hanyalah mereka yang punya kelebihan dalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama.
•Diperbolehkan mencium tangan orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan keluarga, seperti anak mencium tangan kedua orangtua atau kakek dan neneknya, menantu mencium tangan mertuanya, dan sebagainya.
•Tidak diperbolehkan mencium tangan orang asing yang tidak dikenal dan orang yang senang berbuat maksiat kepada Allah. Kesalahan yang sering dilakukan oleh para orangtua adalah memaksakan anaknya mencium tangan orang-orang yang tidak mereka kenal, hanya supaya dianggap sebagai anak yang sopan.
Bersalaman Setelah Shalat, Bolehkah?

Bersalaman setelah shalat sering dilakukan terutama di Indonesia. Kadang-kadang, mereka bersalaman dengan antrian yang sangat panjang sehingga menyulitkan dan mengganggu keleluasaan jamaah lain dalam bergerak ataupun berzikir. Apakah itu termasuk bagian dari agama? Saya belum pernah mendapatkan satu dalil pun, baik ayat Al-Qur’an maupun Hadis yang membahas hal tersebut. Namun berhubung ada hadis yang menganjurkan berjabat tangan, maka bersalaman setelah shalat diperbolehkan sebatas tidak mengganggu dan menyulitkan jamaah yang lain.

Satu hal yang perlu kita ingat adalah bahwa berjabat tangan itu bukanlah kewajiban agama yang harus dilaksanakan oleh semua orang. Amalan seperti ini bersifat anjuran. Karena itu, kita tidak boleh berprasangka buruk kepada orang-orang yang tidak berjabat tangan dengan kita.

http://ruslihasbi.wordpress.com

Fatwa: Hukum Merayakan Hari Ibu

Posted: 08 May 2010 05:52 AM PDT

23 Jamadil Awal 1431H.
http://al-ahkam.net/

Soal: Apa hukum memuliakan ibu pada hari ibu? Apakah di sana terdapat tegahan dari syarak untuk merayakan perayaan ini?

Jawab (syeikh Faisal Mawlawi): Memuliakan ibu adalah dituntut sepanjang tahun sepenuhnya. Menghormati ibu, menuntut keredhaannya, berkhidmat dan berbuat apa sahaja kebaikan kepadanya adalah dituntut dengan tuntutan yang tegas (wajib) sebagaimana yang termaktub di dalam al-Quran dan sunnah Rasulullah s.a.w. Perkara ini sudah diketahui umum oleh mana-mana manusia.

Cuma, orang-orang Barat menjadikan sebagai adat dan budaya dengan menetapkan satu hari dalam setahun untuk dijadikan sebagai Hari Ibu. Di mana pada hari itu anak-anak menghulurkan hadiah kepada ibu mereka untuk memuliakan dan sebagai tanda penghormatan.

Orang Islam pula, dari sudut syarak, tidak ada perayaan/hariraya melainkan Idul Fitri dan Idul Adha. Selain perayaan/hariraya ini, iaitu yang mengambil sempena sesuatu perkara, maka ia tidaklah lebih dari hanya sekadar merayakan sempena sesuatu itu sahaja. Contohnya, seperti apa yang dinamakan sebagai hari ibu, atau perayaan untuk peringatan sesuatu peristiwa tertentu.

Jika kita menganggap bahawa apa yang dinamakan oleh orang-orang barat sebagai hari ibu itu sebagai hari memuliakan/menghormati ibu hanya sebagai tambahan sahaja (kewajipan menghormati ibu telahpun siap kita laksanakan), maka di sana syarak tidak menghalangnya. Yang ditegah oleh syarak ialah jika perayaan berkenaan dianggap sebagai ‘id/perayaan dengan maksud syar’i. Begitu juga ditegah jika pembatasan menghormati dan memuliakan ibu hanya pada hari berkenaan sahaja. Jadi, jika dua perkara ini ternafi, maka tidak ada halangan untuk memuliakan atau menghormati ibu pada hari ibu.

Dilarang juga merayakan hari ibu kerana bertaklid kepada non muslim dan bertasyabbuh/menyerupai/meniru2 mereka.

Kita berpegang bahawa meniru-niru non muslim dan menyerupai mereka adalah tidak dibenarkan pada perkara-perkara yang khusus untuk mereka sahaja serta tidak mempunyai asas di dalam syariat kita. Adapun memuliakan ibu sebagaimana diketahui umum memang mempunyai asasnya di dalam syariat. Oleh itu, perkara ini tidaklah dapat dianggap sebagai meniru-niru/menyerupai non muslim yang ditegah.

Sumber: http://www.islamonline.net/livefatwa/arabic/Browse.asp?hGuestID=uQ3lCv
Terjemahan oleh zain-ys

Hukum Makan Ketam Batu/ketam nipah

Posted: 08 May 2010 05:39 AM PDT

23 Jamadil Awal 1431H.
http://soaljawab.wordpress.com/

Apakah hukum memakan ketam batu? Haram atau makruh?

jawapan:

Apa yg ditanya adalah perihal binatang 2 alam. Setakat pencarian saya, tidak terdapat sebarang dalil yang khusus mengatakan binatang 2 alam itu haram di makan. Persoalannya, bagaimana pula hukum ini boleh keluar apatah lagi ia merupakan qaul yg masyhur dalam mazhab syafi’e sepertimana dinukilkan oleh kitab2 an-Nawawi; Imam Rafi’iy dan al-Ghazali. Pendapat ini juga dipegang oleh mazhab Hanbali.

Mereka yg mengatakan binatang 2 alam ni haram di makan berdasarkan hadis berikut:

Dr Abdur rahman ibn Utsman menerangkan, “Dihadapan Rasulullah saw seorang tabib memeperagakan semacam ubat dan dia menyebutkan tentang hal katak yg dimasukkan ke dalam ubat itu. Rasulullah saw melarang kita membunuh katak itu.”[HR Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’I]

Hukum ke atas katak ini, kemudian diqiaskan kpd yg hidup sepertimana katak.

Sabdanya lagi, “Airnya,(iaitu laut) menyucikan dan halal bangkainya.”

Hadis di atas merujuk kpd hidupan laut. Adapun binatang 2 alam ini tidak termasuk dalam keterangan di atas kerana mereka juga hidup di darat. Maka berdasarkan firman Allah di bawah, mereka membuat kesimpulan bahawa 2 alam itu haram di makan.

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,…..”[5:3]

Di samping itu terdapat juga beberapa hadis yg menjelaskan ayat di atas iaitu:

Rasulullah saw bersabda, “Dihalalkan utk kita 2 jenis bangkai dan dua jenis darah; ikan dan belalang, hati dan limpa.”

Ulama’ mengqiaskan ikan itu kpd segala jenis hidupan laut yg hanya tinggal di dalam laut/air. Oleh itu, binatang 2 alam tidak termasuk.

Walaupun begitu, perlu kita ketahui bahawa dalam Islam, Bahawa asal setiap sesuatu ciptaan Allah adalah harus. Ia tidak diharamkan melainkan jika ada nash yang sahih lagi sharih (jelas/tegas) dari syari’ yang mengharamkannya. Jika di sana tidak ada nash yang sahih – seperti ada nash tetapi dengan hadis dha’if – atau nash berkenaan sahih tetapi tidak sharih dalam menunjukkan keharamannya, maka hal ini akan kekal atas sifat asalnya sebagai hal yang diharuskan.

Daripada Abi Darda’, Rasulullah saw bersabda, “Apa yang Allah halalkan di dalam KitabNya, maka ia adalah halal. Dan, apa yang Allah haramkan, maka ia adalah haram. Manakala apa yang didiamkan olehNya, maka ia adalah dimaafkan. Oleh itu, terimalah kemaafan dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan lupa sedikitpun.” Kemudian Rasulullah s.a.w. membaca ayat: “Dan Tuhanmu tidak pelupa.”(Maryam: 64) (HR Al-Hakim, dan dia mensahihkannya dan dikeluarkan oleh al-Bazzar, dia berkata: Sanad yang baik).

Maka, berdasarkan dalil yg dipakai oleh mereka yg mengatakan binatang 2 alam itu haram, kita dapati tidak terdapat satupun yg khusus menunjukkan ke arah keharamannya. Dalil yg paling hampir ialah mengenai katak. Tetapi berdasarkan kaedah yg telah diutarakan, kalau kita menerima hadis ini menunjukkan keharaman, keharaman itu hanyalah ditujukan kepada katak. Mengqiaskannya kpd semua yg hidup 2 alam itu tidak tepat. Sekiranya kita menerima pendpt haramnya binatang 2 alam, mengapa pula kita boleh memakan ketam/kerang yg pada biasanya dijual di pasar2 dalam keadaan hidup. Bukankah itu membutikan binatang ini mampu hidup di atas darat?

Pendapat yg kuat ialah secara umumnya, binatang 2 alam itu halal. Dia didiamkan syara’. Hanya saja kita perlu ingat, bahawa Islam juga ada menggariskan satu lagi kaedah dalam mengenal pasti halal atau haramnya sesuatu binatang itu, iaitu berdasarkan kpd firman Allah swt:

“Hai manusia! Makanlah dari apa-apa yang ada di bumi ini yang halal dan baik, dan jangan kamu mengikuti jejak syaitan karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang terang-terangan bagi kamu.” (al-Baqarah: 168)

“Katakanlah! Aku tidak menemukan tentang sesuatu yang telah diwahyukan kepadaku soal makanan yang diharamkan untuk dimakan, melainkan bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi; karena sesungguhnya dia itu kotor (rijs), atau binatang yang disembelih bukan karena Allah. Maka barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih.” (al-An’am: 145)

Dari ayat di atas, illat kpd keharaman bangkai, darah yg megalir, babi adalah kotor(bolded). Berdasarkan illat ini, kita boleh mengqiaskannya kpd apa2 binatang yg mempunyai illat yg sama dgnnya iaitu kotor. Sebagai cth, sekiranya kita melihat sesuatu binatang itu sememangnya kotor dari segi gaya hidup dan seumpamanya, maka ia menjadi haram. Walaupun begitu, kita perlu ingat, kadang2 uruf dari satu tempat ke satu yg lain itu berlainan. Mungkin pada masyarakat m’sia, binatang itu menjijikkan, ttp pada masyarakat China tidak pula.

Maka, kesimpulannya, setiap apa yg dinyatakan dalam nas yg mengatakan ianya haram, itulah haram. Yg tidak dikatakan haram, maka ia didiamkan syara’. Namun Islam menitikberatkan kebersihan. Tinggalkanlah sesuatu perkara yg dianggap pada dirinya jijik dan kotor. Ttp jgn pula kita menjadi pelik jika ada org yg memakannya di negara lain.Wallahuaklam

No comments: